Pengantar Sejarah Dakwah

Perkenalkan saya Husnul Khatimah Fitri mahasiswa FUAD IAIN Pontianak. Di sini saya akan berbagi ringkasan/resume buku “Pengantar Sejarah Dakwah” karya Dr. H. Harjani Hefni, Lc., M.A, Wahyu Ilaihi, S.Ag., M.A, Dr. H. M. Hidayat Nurwahid,M.A. Semoga bermanfaat J
PENGANTAR SEJARAH DAKWAH
MENUJU PEMAHAMAN SEJARAH DAKWAH YANG LEBIH AKURAT
Oleh
Dr. H. M. Hidayat Nurwahid, M.A
Allah SWT. mengatur alam ini dengan aturan hukum yang sangat canggih. Orang menyebutnya hukum alam. Tetapi kalau merujuk kepada Al-Qur’an hukum ini disebut dengan sunahtullah karena dalam ajaran Islam alam tidak membuat hukum untuk dirinya, tetapi Dzat Yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alamlah yang membuat aturannya.
Allah SWT. mengingatkan manusia bahwa sunahtulah ini bersifat valid, cirinya adalah konstan, komprehensif, dan tidak berubah [tsabat]. Layaknya api, sifat api adalah panas dan membakar maka akan selalu seperti itu tidak berubah, demikian juaga air, selalu mengalir ke bawah tidak pernah mengalir ke atas. Allah berfirman: Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan [berlakunya] sunah [Allah yang telah berlaku] kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat pergantian bagi sunah Allah dan sekali-kali tidak [pula] akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu. [QS. Fathir: 43]. Ayat ini hampir serupa terdapat pada Surah Al Isra’ ayat 77.
Mempelajari dakwah pada dasarnya adalah mempelajari sunnatullah yang terjadi pada dakwah pada rentang waktu yang panjang. Banyak orang mengatakan bahwa sejarah mengulang dirinya. Sebenarnya bukan sejarah yang mengulang dirinya, tetapi Allahlah yang memutarnya kembali pada saat orang-orang pada zaman tertentu melakukan perbuatan yang sama atau mendekati perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tersebut dalam sejarah.
Dari beberapa gambaran tentang sunnatullah dalam kitabulah dan Hadits Rasul kita memahami hakikat sejarah dan mengetahui faktor-faktor pembangun, keamanan, kemapanan dan kemajuan di satu sisi dan faktor-faktor kahancuran, ketakutan, kejatuhan dan keterbelakangan.
Sunnatullah ternyata berhubungan erat dengan amr dan nahi, ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekufuran, tauhid dan syirik. Apabila orang melaksanakan amr [perintah], menjauhi nahi [larangan], dan bertindak di dalam batas-batas Allah mereka akan merasakan kebaikan dari sunnah robbaniyah. Apabila melalaikan amr dan melanggarnya, melakukan apa yang dilarang dan mencampakkan dalam larangan Allah, maka dia akan merasakan jahatnya sunnah robbaniyah.
Seorang ulama Islam terkemuka, Ibnu Taimiyah berkomentar tentang sunnatullah dalam masyarakat: “...dari bab inilah kisah-kisah orang-orang terdahulu dapat kita jadikan ibrah. Andaikan kisah-kisah ini tidak bisa dianalogikan dan tidak konstan, maka tidak mungkin dijadikan pelajaran; karena ibra baru bisa diambil manakala hukum sesuatu bisa dianalogikan dengan permasalahan serupa, seperti perumpamaan yang terdapat di Al-Qur’an.[1]
Karena ada sunnatullah yang konstan inilah mempelajari sejarah dakwah menjadi keniscayaan bagi pada da’i. Allah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan [kitab-kitab] yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [QS. Yusuf: 11]
Di antara sunnatullah[2] dalam dakwah adalah sunah ibtila’, tamhish, dan tamkin [cobaan, seleksi, dan kemapanan]. Maksudnya, di dalam perjalanan kolosal dakwah yang bertujuan untuk menyampaikan prinsip-prinsip ajaran Allah, semua Nabi dan para pengikutnya tidak dibiarkan oleh Allah berdakwah tanpa ujian dan cobaan. Dengan ujian dan cobaan yang diberikan mereka menjadi manusia-manusia yang bermental baja dan siap memikul amanah yang berat. Cobaan dan ujian yang mereka terima sangat bervariasi; Nabi Nuh harus berhadapan dengan umat yang keras kepala, bahkan harus berhadapan dengan istri dan anaknya. Nabi Musa juga harus berhadapan dengan penguasa tiran Fir’aun di satu sisi, dengan Bani Israil yang ‘ngeyel’. Nabi Ibrahim juga mendapatkan cobaan berupa pertentangan sengit dari orang tuanya, Azar, dan berujung pada pencampakannya ke dalam api atas perintah Raja Namrudz. Nabi Yusuf mendapatkan cobaan berupa kedengkian saudara-saudaranya dan godaan dari wanita-wanita cantik di kalangan istana.
Konsekuensi logis dari terjadinya sunnah ibtila’ adalah munculnya sunnah tamshish. Dari satu sisi orang mukmin menghadapi cobaan, dari situ diketahui mana loyang dan mana yang emas, dan mereka menjadi matang sebagaimana makanan matang kalau dipanggang dengan api eksis menghadapi cobaan, kekuatannya melemah, dan akhirnya rontok. Tamhish atau seleksi ini bertujuan untuk mengetahui kualitas orang yang sebenarnya pejuang. Allah berfirman: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk [munafik] dari yang baik [mukmin]” [QS. Ali Imran: 179]. “Dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan utuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran: 155]
Hasil dari sunnah tamhish adalah munculnya sunnah tamkim atau kemapaman. Allah akan mengukuhkan posisi orang-orang mukmin di muka bumi setelah mereka membuktikan kelayakan mereka yang menang. Seorang ulama besar, Imam Syafi’i, saat ditanya mana yang lebih afdhal buat seseorang dimenangkan atau dicoba? Beliau menjawab: “tidak akan ada kemenangan hingga diuji”.[3]
Sunnatullah yang juga penting kita pahami dalam dakwah adalah sunnah taghyir, tawadul, dan nashr [perubahan, pergantian, dan kemenangan]. Nabi Muhammad adalah contoh yang paling indah untuk memahami sunnah perubahan. Ummat yang hendak direformasi oleh Muhammad adalah umat yang sangat jahiliyah. Tetapi karena amanah dakwah selain menyampaikan adalah perubahan maka beliay membagi dakwah dalam fase-fase bahkan dirinci dalam langkah-langkah implementasinya. Perubahan sulit untuk dijemput manakala tidak disertai dengan kesungguhan, rasa capek, sabar, dan ujian.
Tetapi napas perjuangan kita tidak boleh berhenti pada sunnah perubahan. Kita harus siap untuk menanti sunnatullah yang lain, yaitu sunnah pergantian atau pergiliran di antara manusia, dari masa sulit menuju masa mudah, atau sebaliknya, dan kemenangan kepada kehancuran dan sebaliknya. Sunnah pergiliran ini dibuka kesempatan oleh Allah beriringan dengan kesungguhan orang untuk melaksanakan sunnah taghyir dalam nafs [jiwa] mereka. Di sini terdapat rahasia besar, hubungan antara sunnah pergiliran di antara manusia, bangsa, dan masyarakat dengan perubahan nafs [jiwa] kehancuran suatu umat dan kebangkitannya, sangat terkait dengan perubahan nafs. Sunnah ini sudah terbukti sepanjang jaman dan tidak akan terjadi perubahan dan pergntian. Kalau kita mampu mengelola perubahan dengan baik, maka sunnah kemenangan adalah sunnah berikutnya yang akan kita jemput. Kesalahan kita yang terbesar adalah ketidakmampuan membaca, sunnah perubahan sehingga  tidak siap menyongsong sunnah kemenangan. Kadang manusia terlalu cuek untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Biasanya pada saat manusia saling memperhatikan lingkungannya masing-masing, tak jarang ada orang yang mencemooh sehingga manusia itu sendiri menjadi malas untuk peduli.
Sunnatullah yang juga wajib diperhatikan oleh para da’i adalah sunnah al-I’dad [persiapan]. Tidak mungkin sebuah perubahan, pergantian, dan kemenangan terjadi tanpa ada persiapan. Persiapan seharusnya mencakup seluruh aspek, seperti persiapan ilmu, pemahaman agama, dan kejelasan pandangan dalam beragama, persiapan terbawi dan perilaku, persiapan harta, persiapan maedia, dan persiapan fisik. Sebuah perjuangan tanpa persiapan yang matang dan tergesa-gesa ingin memetik hasil tidak akan membuahkan hasil yang baik, bahkan kita akan melihat hasil yang mengecewakan ibarat buah yang matang karena di karbit.
Sunnah lain yang juga penting dipahami adalah sunnah tadafu’ [pertarungan], yaitu pertarungan laten antara haq dan batil. Sunnah ini terkaid dengan sunnah i’dad, dan telah berlangsung secara empiris dalam sejarah panjang umat manusia dan akan terus berlangsung dalam pentas kehidupan hingga hari kiamat. Akibat adanya perbedaan antara orang yang ingin menegakkan kebenaran [al-haq], dan orang yang ingin mempertahankan kebatilan terjadilah pertarungan abadi. Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” [QS. An-Nisa’: 76]
Sunnah inilah yang dimaksud dengan firman Allah berikut: “Seandainya Allah tidak menolak [keganasan] sebagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia [yang dicurahkan] atas alam semesta alam. [QS. Al-Baqarah: 251]
Dan sunnah ini pula yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang memperjuangkan kebenaran sampai mendekati hari kiamat.” [HR. Muslim]
Tha-ifah Manshurah [kelompok yang dimenangkan] yang dihadirkan Allah SWT. Ini mengantongi seluruh penyebab kemenangan, baik maknawiyah maupun materi, yaitu berupa ilmu yang benar, perilaku yang lurus, melaksanakan program langkah demi langkah yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk sampai kepada hasil yang diinginkan. Tanpa hal di atas, hanya sekedar iman dan komitmen dengan akidah ahlussunnah waljama’ah- tanpa berusaha untuk melakukan pekerjaan menjadi penyebab kemenangan, tanpa memperhatikan faktor-faktor materi, dan tidak komitmen dengan sunnah kauniyah yang mutlak-tidak akan menjamin lahirnya kemenangan di muka bumi sebagaimana yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang jujur.[4]
Allah SWT. Menjelaskan bahwa kerja keras manusia mukminlah yang akan memangkas pertarungan sehingga kemenangan berpihak kepada mereka- dengan izin Allah. Membaca sejarah panjang dakwah dengan teori sunnatullah di atas sangat membantu kita untuk membingkai pemahaman tentang karakter dakwah yang sebenarnya. Lalu dengan analisis teori yang baik kita akan mampu memformulasikan serta selanjutnya menghadirkan model dakwah yang ideal buat bangsa Indonesia dengan jumlah muslim tersebsar di dunia ini.



[1] Ibnu Taimiyah, Jami ar-Rasail, hlm. 55
[2] Penulis mengutip secara lepas teori sunnatullah dalam dakwah yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Amhazun dalam kitabnya Manhaj an Nabi saw fi ad-dakwah min khilal as-sirah as shahihah
[3] Ibnu al Qoyyim, al-Fawaid, hlm. 227
[4] Lihat, Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Ahlussunnah waljama’ah, hlm. 52

Komentar

Postingan Populer